Author:
Park In Ri
Casting:
Han Sang Hwa, Lee Jin Ki
Genre:
Dream(?), Romance, Horror(?)
Rating:
PG-15
Lenght:
One Shoot
******************************************
******************************************
Author POV
Sore
itu, bunyi sirene melengking memecah suara berjuta-juta air yang turun ke bumi.
Seorang Yeoja pengidap Sirosis baru saja ambruk dan sedang mempertaruhkan
nyawanya di ambulance itu.
“Sang
Hwa... Hiks, hiks, Sang Hwa! Bertahanlah! Jebal..” kata Ji Woo sudah hampir
menangis melihat chingunya yang terbaring lemah.
“Ehm,
iya Tante. Kami sedang membawanya ke Rumah Sakit biasanya. Iya. Baik, Tante.”
Kata Seorang Yeoja lagi yang bernama Dong Ae sedang berbicara panik di
ponselnya.
Ambulance
itu melaju makin cepat menembus air hujan yang begitu deras membentuk tirai.
Seseorang didalam sana sedang berusaha sekuat tenaga mempertahannkan nyawanya.
Dia, dia adalah orang diantara banyak orang yang memilik keinginan hidup yang
sangat besar.
“Demi
apapun, aku ingin tetap Hidup.”
-------------------------------------------------------------------
“Kami
harus segera melakukan operasi pencangkokan hati sekarang.” Kata seseorang
dengan jubah putihnya yang panjang.
“Tapi,
bukankah kita sudah menjadwalkan operasinya sebulan lagi dokter?” tanya Seorang
laki-laki yang sedari tadi sibuk menenangkan seorang perempuan yang terus
terisak.
“Kerusakan
hatinya berkembang semakin parah. Kita tidak bisa menunggu selama itu.” kata
Dokter.
Isakan
perempuan yang duduk dikursi itu terdengar semakin besar. Seraya memanggil nama
anaknya dengar Lirih.
“Sang
Hwa.. Sang Hwa anakku..” katanya.
Laki-laki
itu melihat istrinya sebentar lalu mengambil nafasnya dalam-dalam.
“Baiklah
Dokter, saya akan segera menghubungi calon pendonornya. Lakukan sekarang.” Kata
laki-laki itu serius.
--------------------------------------------------------------------
“Kami
sudah mempersiapkan ruang operasinya, dan kami akan segera melakukan
pembiusan.” Kata Dokter yang sama dengan dokter kemarin.
“Baiklah.”
Kata Han Yun Ho, Ayah Sang Hwa.
“Jakkaman,
dokter.” Kata Ibu Sang Hwa menghentikan langkah dokter.
“Boleh
saya menemui Yong Hwa?” tanyanya.
“Tentu,
silahkan.” Kata dokter.
Ibu
Sang Hwa segera masuk ke ruang yang ditunjukkan dokter. Melihat putra
pertamanya yang baru pulang dari luar negeri harus segera bersiap-siap
menjalani operasi pencangkokan hati.
“Yong
Hwa.” Kata Ibunya lirih.
“Ne,
Eomma.” Kata pemuda itu tersenyum berusaha tidak menunjukkan rasa takutnya.
“Yong
Hwa, terimakasih telah membantu Sang Hwa.” Kata Ibunya.
“Eomma,
Gwaenchana. Sang Hwa itu adikku, sudah seharusnya aku melakukan ini.” Kata Yong
Hwa menatap lurus ke mata Ibunya.
“Kau
bahkan harus cuti kuliah untuk melakukan cangkok hati.” Kata Eomma.
“Eomma.
Uljimayo.” Kata Yong Hwa berusaha menenangkan Ibunya.
“Berjanjilah
kau akan baik-baik saja.” kata Ibu sambil memegang pundak putranya.
“Ne,
Eomma. Aku janji.” Kata Yong Hwa.
Tak
berapa lama kemudian, Ranjang Sang Hwa dan juga Yong Hwa telah berada di dalam
ruang Operasi. Seluruh keluarga menunggu dengan panik di luar, mereka semua spontan
menoleh ketika melihat lampu merah di atas pintu ruang operasi menyala. Pertanda
operasi telah dimulai.
------------------------------------------------------------
Sang Hwa POV
Disini, tercium bau yang sangat harum
menenangkan,,
menggodaku untuk terus tertidur..
“Sang
Hwa.. Sang Hwa.. Ireona.” Suara seseorang itu menggangguku. Dari suaranya, dia
pasti seorang Namja.
“Sang
Hwa.. Ireona.” Katanya lagi. Suara ini sangat lembut, hingga membuatku tanpa
sengaja membuka mata. Penasaran kepada pemiliknya.
Ketika
aku membuka mata, yang tampak adalah seorang laki-laki yang mungkin usianya
sama denganku. Mengenakan bajunya yang putih, tampak seperti seorang malaikat
dengan senyum ramah menghiasi deretan giginya yang rapi ditambah rambut cokelat
mudanya.
“Sang
Hwa.. sudah bangun?” tanya kemudian merangkul tanganku, membimbingku bangun.
“Nugu?
Eodiga?” tanyaku ketika aku menyadari aku sedang tertidur di sebuah kursi yang
ada di sebuah taman yang sangat luas, dihiasi dengan bunga-bunga dan pohon
rindang yang condong menghadap sungai kecil yang airnya mengalir jernih ke
muara danau.
“Aku?
Panggil saja aku Jinki. Kau suka tempat ini?” tanyanya.
Aku
menyernyitkan dahiku, berusaha mengingat. Suara terakhir yang aku dengar adalah
lengkingan ambulance dan jeritan panik dari Ji Woo. Cahaya terakhir yang aku
lihat adalah cahaya dari layar proyektor Lab Biologi. Kemudian aku merasakan
sakit laluu,, aku ada disini.. apakah.. apakah.. apakah ini..
“Kau
tidak perlu takut, ini bukanlah Surga atau semacamnya. Dan kau tenang saja, kau
masih hidup.” Kata pemuda yang mengaku bernama Jinki itu, tepat ketika aku
sedang menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
“Ooohh..”
kataku. Hanya itu yang bisa aku katakan.
“Kau
suka tempat ini?” tanyanya lagi.
Aku
segera memandang sekitar lalu mengangguk. Tempat ini nyaman dan tenang.
“Hemm..”
katanya tersenyum. “Sayang kau hanya bisa mengunjunginya sekali.” Katanya lagi.
“Jinki-ssi,
kenapa disini?” tanyaku
“Menunggumu.”
Katanya pelan sambil tersenyum lagi.
“Eh?”
aku merasa sesuatu yang panas diwajahku. Apakah wajahku memerah? Secara tidak
sengaja aku mengipaskan tanganku disekeliling wajah.
“Kau
mau ikut aku?” tanya Jinki-ssi sambil menyodorkan tangannya padaku.
*****************************************
Jin Ki POV
Aku senang akhirnya dia datang,
Aku senang ketika aku bisa memegang
tangannya
Dan aku senang ketika bisa berjalan
disampingnya seperti sekarang.
Aku
menjinjitkan kakiku untuk meraih buah apel yang merah matang dan memetiknya.
“Kau
mau?” tanyaku menawarkan apel padanya.
Lalu
dia mengangguk pelan dan menerimanya. Kemudian dengan malu-malu menggigitnya
kecil. Kyeopta!
Waktunya
tinggal beberapa jam lagi.
“Mmmm..
bagaimana keadaan Yong Hwa Hyung?” tanyaku berbasa-basi.
“Eh?
Kau mengenal Yong Hwa Oppa? Mm.. dia sedang belajar di Amerika sekarang.”
Katanya setelah mengunyah apelnya.
“Aaaa..”
kataku mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tau, kalau sekarang Yong Hwa
sedang tertidur disampingnya.
“Jinki-ssi,
kenapa kita, mmm.. maksudku ‘aku’ hanya bisa mengunjungi tempat ini sekali
saja?” tanyanya.
“Karena
aku menunggumu disini. Hahahaha...” kataku.
Aku
melihat wajahnya yang bingung dengan jawabanku, kemudian aku mencoba
mengkoreksi jawabanku.
“Sang
Hwa-ga. Sebenarnya, tidak semua orang bisa mengunjungi tempat ini. Bisa
mengunjunginya sekalii saja seumur hidup sudah merupakan suatu anugerah.”
Kataku sambil mengangkat tanganku ingin membelai rambutnya namun aku urungkan.
“He?”
katanya sambil menggigit apel dengan cukup besar.
“Ani.
Hanya saja, hidup ini seperti sebuah puzzle. Namun bedanya, jika kau salah
meletakkan potongan puzzle kau bisa melepaskan dan menggantinya dengan potongan
yang lain. Tapi hidup ini tidak, sekali kau memutuskan sesuatu kau tidak bisa
mengubahnya lagi. Sekali terjadi sesuatu, kau tidak bisa memutarnya lagi.
Mengerti?” tanyaku.
Tapi
beberapa saat kemudian aku melihat ekspresi wajahnya yang polos sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Molla.” Katanya innocent
“Haiiisshhh,
ya sudah. Kau makan saja apelmu.” Kataku sedikit kesal.
Kulihat
dia memanyunkan bibirnya. Kemudian dengan berbinar-binar menyodorkan apelnya
padaku. “Oppa mau?” tanyanya.
Oppa?
Dia memanggilku Oppa? Oh Tuhan, ini bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Ini
bahkan jauh dari yang aku minta padamu Tuhan. Aku memandang apel yang dia
sodorkan padaku dan wajahnya secara bergantian. Kemudian aku mendekatkan
wajahku dan menggigit sedikit apelnya.
“Gumawo.”
Kataku
“Ne,
sama-sama.” Katanya kemudian menarik lagi apelnya dan menggigitnya dengan
malu-malu.
*************************************
Sang Hwa POV
Aku mulai merasa
Kalau aku nyaman berada disini
Tempat ini menenangkan dan juga Jinki-ssi
yang ada disampingku
“Kau
mau duduk Sang Hwa?” tanya Jin Ki Oppa.
“Kajja.”
Kataku kemudian berlari menuju pinggiran sungai yang tampak sangat jernih.
“Tidak
apa-apa kita duduk disini? Nanti gaunmu kotor.” Kata Jinki Oppa.
“Eh?”
kataku. Aku bahkan tidak menyadari kalau aku memakai gaun selutut yang berwarna
putih. Sejak kapan aku memakainya?
“Gwaenchana,
sepertinya disini nyaman.” Kataku kemudian duduk dipinggir sungai.
“Baiklah.”
Kata Jinki Oppa menyusulku duduk disana.
Aku
menurunkan kakiku terkena arus sungai yang membuat kakiku sedikit tertarik
arus. Mengangkat kaki kiri dan kanan bergantian dan membiarkan bagian bawah
gaun selututku basah oleh air. Aku menoleh ke Jinki Oppa yang baru saja
memalingkan wajahnya dari ku.
Apa
dia baru saja memandangku tadi? Haishh,, wajahku kembali memanas.
Aku
melihat lagi kearahnya. Dia sedang mengayunkan kepalanya untuk untuk menyingkap
rambut yang menutupi dahinya. Wajahnya tenang, sangat tenang, dan menenangkan.
Aku
memainkan air di tanganku sebentar dan memercikkannya kewajah Jinki Oppa.
“Kekekeke..”
aku tertawa melihatnya berusah menghindari percikan air dariku, tapi aku terus
memercikinya.
“Ya!
Sang Hwa!!” katanya berteriak jahil padaku.
“Kekekeke..
Jinki Oppa, hati-hati kau basah!” kataku menjahilinya.
“Ya!
Baiklah, rasakan ini!” sekarang dia juga memercikiku dengan air.
Wajah
tenangnya seakan hilang ketika tertawa. Berganti menjadi wajah yang tulus dan
polos seperti seorang anak kecil, matanya yang kecil menjadi benar-benar hilang
jika tertawa sepert itu.
Tidak
terasa kami hampir basah karena terlalu asyik bermain air.
“Hahahah!!
Oppa, berhenti! aku sudah basah! Hahaha!! Berhenti!” kataku sambil tertawa.
“Ya!
Apa kau sudah mengaku kalah?” tanyanya.
“Baiklah,
baiklah.. aku kalah.” Kataku menyerah.
Setelah
kami berdua berhenti memercikan air kesatu sama lain. Kami berdua terdiam,
terhanyut dalam pikiran masing-masing.
“Jinki
Oppa..” kataku sambil menghadapkan muka kami berdua.
“Ne?”
tanyanya.
“Apa
Oppa tidak bosan sendirian disini?” tanyaku.
“Tidak.
Karena aku tau, kau akan datang. Karena aku menunggumu.” Kata Jinki Oppa sukses
membuat mukaku bersemu merah lagi.
************************************
Jin Ki POV
“Sang
Hwa..” kataku ketika kita berdua sudah mulai diam lagi.
“Ne?”
tanyanya.
“Kau
haus?” tanyaku.
“Eung.”
Balasnya.
“Kemari!”
ajakku sambil menuju ke muara sungai kemudian duduk berjongkok disana.
“Sini,
duduk disini.” Kataku sambil menepuk-nepuk tempat disampingku.
Dia
merapikan roknya dan ikut duduk berjongkok disampingku.
Aku
segera meraih kedua tangannya. Aku merasakan dia ingin menarik tangannya lagi.
“Gwaenchana.”
Kataku pada Sang Hwa.
Aku
meraih tangannya lebih erat, dan menyetarakan kedua telapak tangannya membentuk
mangkuk kemudian memasukkannya kedalam air dan melepaskan genggamanku.
Aku
juga memasukkan tanganku dan mengambil sedikit air lalu segera meminumnya.
“Ahhh..
segar!” kataku padanya.
Aku
lihat dia masih membiarkan air itu ditangannya. “Ayo coba! Ini sangat segar.”
Kataku tapi dia masih diam.
“Ini
air bersih, jangan khawatir.”kataku menyakinkannya, hingga dia mau meminum air
di tangannya itu.
“Otte?
Segar bukan?” tanyaku disusul anggukannya.
Sang
Hwa mengusap sisa air dimulutnya lalu duduk di tepi sungai lagi dan aku mengikuti
apa yang dilakukannya.
“Kau
mau tidur dipundakku?” tanyaku padanya.
Tak
lama kemudian aku merasakan dia menyandarkan kepalanya pada pundakku. Rasanya
penantianku selama belasan tahun ini terbayar sudah.
“Jinki
Oppa..” panggilnya
“Ne..”
jawabku mendengar dia memanggil namaku
“Gumawo..”
katanya.
“Bukan,
bukan kau yang harusnya berterimakasih, tapi aku. Gumawo,,” balasku
“Hheemm.”
Aku bisa merasakan dia tersenyum.
Hening
beberapa saat membuatku mengenang apa yang aku lakukan bersamanya hari ini. Ini
sudah cukup meski hanya beberapa jam, ini sudah cukup. Ini sudah bisa membayar
penantianku.
Astaga!
Waktunya tinggal beberapa menit lagi.
“Sang
Hwa..” kataku
“Mm..”
balasnya
“Kau
sudah tidur?” tanyaku
“Ani..”
katanya.
“Ma’af,
telah menghilangkan potongan puzzlemu yang hilang.” Kataku
“Eh?”
balasnya berusaha bangun dari sandaran pundakku tapi aku mencegahnya.
“Aku
berjanji, aku berjanji akan mengembalikannya.” Kataku.
“Oppa,
apa yang kau katakan? Puzzle apa?” tanyanya lagi.
“Mulai
sekarang, hiduplah dengan bahagia. Jangan pernah salah meletakkan potongan
puzzle hidupmu.” Kataku.
“Karena
aku akan tetap melihatmu dari sini, jadi yang ingin aku lihat darimu hanyalah
kebahagiaan.” Kataku.
“Hmmmm.”
Sang Hwa hanya bergumam, sudah tidur rupanya.
Aku
menoleh pada kepalanya yang masih bersandar pada pundakku. Memutar pelan
kepalaku, dan mengecup pelan keningnya. Chup
“Saranghaeyo,
Sang Hwa. Saranghayo Yeongwonhi.” Kataku.
Waktunya
sudah habis.
Aku
memejamkan mataku, tidak tahan melihat kepergiaannya. Perlahan-lahan aku
merasakan kepalanya yang bersandar dipundakku makin hilang dan akhirnya lenyap.
********************************
Sang Hwa POV
Operasi
Pencangkokan hati itu sudah berlalu hampir tiga minggu yang lalu. Begitupula
dengan pertemuan dengan Jinki Oppa. Pertama kali, aku merasa kecewa karena
pertemuan itu hanyalah mimpi yang sangat panjang. Tapi aku percaya, aku memang
pernah mengalami itu, aku memang pernah mengunjunginya, tempat yang hanya bisa
dikunjungi satu kali seumur hidup.
Kenangan-kenangan
tentang pertemuan itu selalu memudar setiap harinya. Maka dari itu aku selalu
berusaha keras untuk mengingatnya, menulis setiap detailnya.
“Sang
Hwa, kau baik-baik saja?” tanya seseorang di depan pintu.
“Ne,
Eonni. Apakah Eonni baru dari kamar Yong Hwa Oppa? Bagaimana keadaannya?”
Kataku.
“Iya,
dia baik-baik saja. Lebih baik darimu malah.” Katanya menggoda untuk segera
sembuh.
Dia
adalah Lee Young Ki, Eonni manis teman dekat Oppa ku. Dulunya kami pernah bertetangga sebelum aku
sekeluarga pindah, tapi mereka bertemu lagi ketika universitas dan berteman
baik hingga sekarang.
“Eonni,
aku mau ke kamar mandi dulu.” kataku
“Ne.
Hati-hati.” Katanya.
Aku
berjalan ke kamar mandi dengan perlahan, aku hanya akan mencuci muka. Setelah
mencuci muka aku malah terhayut memandangi bayanganku dalam cermin.
Aku
berjalan keluar sambil memasukkan tangaku kedalam saku piyama rumah sakit.
Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu yang sedikit keras. Aku mengeluarkannya
dari sakuku, dan memandanginya sebentar.
Sebuah
potongan Puzzle. Aku pernah mengenal Puzzle ini.
Flashback~~
“Jinki Oppa! Pokoknya, Oppa harus mencari
potongan puzzle ku!” kataku
“Ma’af, Sang Hwa! Aku janji aku akan
mencarinya!” balasnya
“Kau harus mengemukannya!!” kataku sambil
memanyunkan bibir manja dan pergi dari rumahnya.
“Ya,, aku janji.” Katanya lirih.
End
Flashback~~
“Puzzle,,”
“Jinki,,”
“Lee Jin Ki!”
“Jinki,,”
“Lee Jin Ki!”
Berkelebat
dalam pikiranku tentang seorang teman lama yang sudah tidak pernah aku temui
lagi. Lee Jin Ki, aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Bukankah..
bukankah...
Aku
segera berjalan cepat keluar dari kamar mandi dan menghampiri Young Ki Eonni.
“Eonni..”
kataku
“Ne,
Sang Hwa?” balasnya
“Apa
Eonni punya seorang adik?” tanyaku.
“Kenapa
kamu tiba-tiba bertanya begitu?” tanyanya sedikit kaget dengan pertanyaanku
sampai-sampai menjatuhkan sekuntum bunga yang akan dijadikannya buket.
“Punya?”
tanyaku terus mendesak Young Ki Eonni.
“Ya..
tapi sudah meninggal belasan tahun lalu.” Katanya
Dadaku
sesak mendengar jawaban Young Ki Eonni, takut menerka-nerka kemungkin yang ada.
“Ma’af.
Tapi, siapa namanya, Eonni?” tanyaku pelan.
“Jin
Ki.. Lee Jin Ki. Kau juga pernah mengenalnya.” Kata Young Ki Eonni
Aku
diam, mendengar jawaban Young Ki Eonni. Tanganku masih berada di dalam saku
piyama, terus memegang potongan puzzle.
“Ya, aku memang pernah mengenalnya.”
“Bahkan kami baru bertemu beberapa minggu
yang lalu.”
“Jin Ki-ssi..Ani, Jin Ki Oppa..”
“Terimakasih, terimakasih banyak..”
************************************
“Sama-sama
Sang Hwa.”
“Teruslah
bahagia, teruslah tersenyum.”
“Aku
harap aku terus melihatmu tersenyum.”
“Selalu
tersenyum.”
*FIN*
Huft,
ini FF jadi dalam waktu kurang dari 6 jam, jadi maklum kalo hasilnya
mengecewakan. Sebenernya udah lama ada ide buat bikin ini cerita, tapi
tiba-tiba dapet anugerah –virus males saya ilang-, dan langsung saya tulis dan
terhanyut ide sampe selesai. jadi, lahirlah FF ini.
31-12-2011 / 19.31
H-1, 1 day before
01-02-2012
-Home- Menunggu
sendirian di malam tahun baru..
Park In Ri