Halaman Yang Ada Di Blog-ku

Rabu, 28 Maret 2012

Late Last -Part1-

Author    : HHSPIR
Tittle    : Late Last
Casting    : Park In Ri, Lee Jin Ki, Choi Min Ho
Genre    : Sad, Romance, Horror (?)
Rating    : PG-15 -TAPI mengandung bahasa yang sedikit frontal-
Note    :
-    Judulnya sengaja dibuat Late Last bukan karena Author ini ndak bisa bahasa inggris atau salah ketik wkwkwkwkwk (alibi)
-    FF nekat. Karena belum tau bakalan gimana kelanjutannya tapi sudah di aplut
-    Semoga kena deh ceritanya. Kalo ndak kena, dikena-kenain ya Readers yang baikkk....
-    Song Suggest; pokoknya lagu-lagu yang galu ajaaaaa
**********************************************************************************
Late Last
Kadang keterlambatan memang menyakitkan
Tapi tetap saja akan ada kebahagian ketika penantian berakhir
Tapi bagaimana kalau keterlambatan dan penantian itu bahkan tidak pernah ada.......
Lalu selama ini yang terlambat siapa?
Lalu selama ini aku menunggu siapa?



In Ri POV
“Aku merindukanmu” bisikku pada rintik-rintik air hujan yang jatuh perlahan.

Rintik air hujan itu seakan berusaha menembus dinding cafe disampingku dan menyanmpaikan titipanmu untukku. Dasar bodoh! Aku masih saja berfikir begitu.
Aku sedang menyesap secangkir cappucino hangat sambil melihat tenggelamnya cahaya matahari sore yang terbungkus oleh selaput mendung

Melihat bangku disampingku yang kosong dengan harap seseorang duduk disana menemaniku nanti. Setahun yang lalu, juga pada saat musim semi. Juga ketika bunga-bunga bermekaran dan tercium aroma hujan dimana-mana.

Kini aku benar-benar merindukannya
-------------------------------------------------------------------------------------------------

Tangaku meraba ke roda besi dingin yang ada disisi kiri dan kananku lalu memutarnya. Membuatku keluar dari ruangan berbau obat menyengat yang sama sekali tak kusukai. Semilir angin dan aroma khas yang sangat aku rindukan akhirnya datang. Hujan akan segera tiba, aku segera memperkuat putaranku pada roda besi itu. menyusuri koridor yang seterang apapun menurut orang akan tetap gelap dimataku. Gelap, gelap, dan gelap untuk gadis buta sepertiku.

Terus ku arahkan kursi rodaku hingga benar-benar berbenturan dengan beranda pembatas lantai dua.

“Huh, sayang kamar rawatku ada dilantai dua” kataku berbisik sendirian.

Aku merendahkan tanganku mencari-cari dimana rintik-rintik air hujan itu turun. Bunyi air hujan sudah bergemericik, tapi aku tetap tidak bisa menyentuhkan tanganku pada air hujan yang sudah berjatuhan entah dimana.

“Andai saja aku tidak kehilangan penglihatanku dan jadi buta begini” keluhku muncul lagi setelah beberapa hari menyimpangnya dalam-dalam bersama setiap umpatan-umpatan yang mengingatkanku pada kecelakaan yang aku alamai beberapa minggu lalu.

Kecelakaan yang membuat kehilangan penglihatan dan merenggut setiap warna kehidupanku, juga cedera sementra pada kakiku membuatku benar-benar terpuruk pada hari-hari awal. Namun berhasil dibujuk dengan rayuan Umma dan Appa yang berkata secepatnya akan mendapatkan donor mata dan aku akan segera sembuh. Juga janjit namjachinguku yang akan segera puland dari US untuk menemaniku disini.

Aku masih terus seibuk merutuki nasibku hingga akhirnya tersara bahwa bunyi gemericik air hujan semakin jarang dan terdengan perlahan.

“Hujan akan segera berhenti” kata ku sambil terus mencoba mengarahkan tanganku agar dapat menyentuk air hujan, mulai bangkit dari kursi roda.

“Agak kesini” kata seorang sambil mengarahkan tanganku maju sedikit kekanan dengan sentuhan tangannya yang dingin namun lembut.

“Aku muali merasakan satu per satu tetes air hujan membasahi tanganku disusul dengan berpuluh-puluh tetep berikutnya. Seperti berpuluh-puluh jarum tumoul yang menerjang namun tak memberikan luka, dan jika aku boleh berharap hujan itu seperti langit yang ikut menangis karena penderitaanku.

“Terima kasih” kataku sambil tersenyum kesembarang arah karena tidak tahu dimana letak pasti orang tadi berdiri.

“Sama-sama” terdengat orang ini mengatakannya sambil tersenyum.

Aku semakin khidmat menikmati setiap tetes air yang membasahi tanganku, membuat suasana henign antara kami –aku dan orang yang entah kenapa aku yakin masih berasa disampingku.

“Lebih enak jika kau menikmatinya dilantai bawah” katanya dengan penuh kehalusan.

“Benarkah?” kataku penasaran.

“Tentu. Kajja! Aku antar kau” katanya.

“Eh?” terlambat, dia sudah mendorong kursi rodaku melewati koridor menuju tangga untuk pengguna kursi roda.

“Kita dimana sekarang?” kataku penasaran setelah kursi rodaku terhenti.

“Dilantai bawah, di tepi teman tengah rumah sakit” kata yang seperti mengambil posisi duduk disampingku.

“Dirumah sakit ini ada taman juga?” tanyaku.

Namun tanyaku belum sempat terjawab karena dia langsung meraih tanganku dan menadahkannya diudara. Merasakan kembali tetesam air mata langit hingga tanpa kusadari terbentuk senyum di bibirku.

“Boleh aku pinjam tanganmu sebentar?” tanyanya sedikit menyela kesenanganku dengan air hujan (?)

“Eh? Hmm..” kataku berdengung.

Kurasakan lagi sentuhannya yang dingin dan lembut meraih tanganku mengarahkannya kedepan namun sedikit menjulur kebawah. Membuat tanganku menyentuh sesuatu. Dia menggerakkan tanganku untuk emmetik sesuatu lalu menaruhnya dalam pangkuanku.

“Apa ini?” tanyaku.

“Bunga mawar” dia terdengar mengucapkannya dengan tersenyum lagi.

Aku mengarahkan bunga mawar itu dan menyentuh setiap kelopaknya yang basah oleh air hujan tadi.

“Terimakasih banyak... nggg” aku menggantungkan kalimatku tersadar kalau kami bahkan belum berkenalan.

“Hihihihiii..” Dia malah tertawa geli, membuat seluruh wajahku terasa panas. “Jinki, Lee Jinki imnida.” Katanya.

Andai saja aku bisa melihat sekarang, dia pasti sedang mengulurkan tangannya padaku. Andai saja aku bisa melihat, aku pasti bisa melihat senyumnya, senyum yang seharusnya terlihat hangat dan menenangkan. Andai saja!

Lagi-lagi untaian khayalan dan perandai-andaian datang menggelayutiku.

“Kau?” katanya memutuskan khayalanku.

“Eh? Mmm... Park In Ri” kataku menyodorkan tangan ketempat yang aku kira paling dekat dengannya.  Tapi sepertinya yang aku pikirkan salah, karena aku dengar dia melangkah sebentar.

“Bangapseumnida.” Katanya terdengar seperti mendekatkan wajahnya padaku.

Orang ini, orang ini sebenarnya wajahnya seperti apa?
Orang yang mendekatkanku pada satu-satunya hal yang membuatku bisa tersenyum dalam gelap seperti sekarang. Mengetahui langit ikut menangis dalam setiap gelapku.

“Mmm... Jinki-ssi juga pasien disini?” tanyaku mengingat ini bukan jam besuk.

“Bisa dibilang begitu” katanya lalu menyentuh punggunku.

Biasanya aku akan segera menangkis sentuhan-sentuhan seperti itu. Tapi sentuhannya seakan mengunciku, terasa ringan dan sangat nyaman.

“Kau suka hujan?” tanyanya yang mungkin sekarang sedang melihatku yang asyik menikmati tetesan air hujan yang jatuh ditanganku lagi.

“Iya, sangat!” kataku singkat tak mau kehilangan moment dengan airmata sang langit.

“Wae?” tanyanya lagi

“Hanya suka saja. Tidak butuh suatu alasan untuk menyukai kan?”

Dia tidak menjawab. Benar-benar hening yang menyelimuti kami. Hingga aku mulai merasakan tetesan air hujan makin jarang menyentuh tanganku yang masih setia menunggu tetesan selanjutnya. Hingga akhirnya tetesan itu benar-benar menghilang.

“Hhhhh...” kataku melenguh kecewa. “Hujannya sudah berhenti”

“Sudahlah, besok pasti turun lagi” katanya yang ternyata masih disampignku. Aku kira dia tidak akan letah menemaniku yang buta dan juga duduk di kursi roda ini.

“Mm.. iya, mungkin.” Kataku sedikit menggantung.

“Pasti turun lagi” katanya meyakinkanku lalu menepuk-nepuk pundakku halus.

Entah kenapa aku langsung mempercayai kata-katanya. Padahal ini sudah akhir musim semi, dan cuaca sudah mulai panas.

“Sekarang, ayo kembali” katanya mengakhiri keheningan diantara kami.

“Eh?” tanyaku sedikit kaget karena tiba-tiga tertarik dari lamunanku.

“Ayooo.. aku antar ke kamarmu” katanya.

Aku merasakan dia yang ada dibelakangku menunduk meraih penahan kursi roda yang ada di sisi depan. Membuat aku bisa mencium bau tubuhnya. Barang sekelebat, baunya harum. Perbaduan antara wangi maskulin dan aromaterapi.

“Kajja! Eh? Kamarmu dimana?” katanya polos sambil mendorong kursi rodaku perlahan melewati koridor sepi yang menurutku gelap. Namun merasakan ada seseorang yang memberikan kehadirannya untukku, membuatku lebih dari sekedar rasa nyaman.
******************************************

“Yakk!! Oppa, apa maksudmu?”

“Sudah, Inri. Cukup. Kita se-le-sai!” katanya sambil menekankan kata terakhir.

“Wae? Hikks..ughh,, hiikss. Wae? Apa salahku pada Oppa?” sentakku yang sudah tidak bisa lagi membendung air mata.

“Wae?!?! Kau masih bertanya? Kau sudah tidak berguna lagi In Ri. Sudah cukup? Puas? Jangan buat aku mengatakan sesuatu yang lebih kasar dari itu.”

Aku hanya membeku mendengar ucapannya, berusaha menahan rasa sakit yang berkecamuk.

Ada apa ini? Tiba-tiba Minho Oppa –namjachinguku—jauh-jauh menelepon dari US. Aku kria dia akan mengatakan kalau dia akan segera pulang, tapi malah pernyataan seperti ini yang aku dapat darinya. Dia meminta putus dari ku. Kenapa? Bukankah baru beberapa hari yang lalu dia berkata akan segera pulang ke Seoul dan menemaniku? Ada apa dengannya? Kenapa dia memintaku melepaskannya?

“Oppa? Apa Oppa menyukia yeoja lain?” tanyaku sambil meremas-reman selimutku. Berusaha menahan rasa sakit.

“Ck! Kau malah mencurigaiku? Yakk?! Park In Ri, lebih baik kau berkaca pada dirimu sendiri” katanya.

Aku termenung. Apa maksudnya? Apa dia mau bilang kalau dia memutuskanku akrena keadaanku yang buta sekarang. Kemana Choi Min Ho yang dulu hangat padaku, selalu mendampingiku susah ataupun senang. Min Ho yang menyesap lembut punggung tanganku dan tertidur dipangkuanku.

Ah! Benar! Sekarang, aku adalah seorang gadis buta yang tidak berguna. Ck! Dasar bodoh! Aku benar-benar tidak tau diri. Mana pantas seorang gadis buta bersama dengan Choi Min Ho, seorang pelajar pertukaran sekolah tinggi terkenal. Aku bukan siapa-siapa sekarang, tak lebih dari sekedar sampah.

“Kita selesai In Ri. Kalau pun suatu hari kita bertemeu, meski aku yakin dengan keadaanmu yang seperti itu tida akan bisa melihatku, anggao kita tidak pernah bertemu.” Ia benar-benar mengatakannya dengan datar dan menusuk.

“Annyeong.”

PIP..

Sambungan telepon terputus bahkan ketika aku masih belum sadar sepenuhnya dari apa yang beru saja dikatakannya.
===========================================================================

Author POV
In Ri kalap.

Setelah termenung beberapa saat, ketika seorang suster memasuki kamarnya dan meminta ijinnya melakukan pemeriksaan, In Ri meluapkan semuanya. Mulai membanting handphone, menarik lalu membuang selimut asal.

“Nona, apa yang anda lakukan?” tanya suster itu.

“PRAAAAAANNNGGGGG!!” (ini gelas pecah saudara-saudara) In Ri turuss dari ranjangnya dan menyapu bersih seluruh gelas kaca dimeja nakans dekat ranjang. Membuatnya terhempas kelantai dan pecah berkeping-keping.

“Arghhhh!!!” In Ri mulai mencoba berjalan, namun tentu saja dia jatuh karena cedera kecelakaan itu. pecahan kaca membuat permukaan lutut dan kakinya tertancap, membuat darah berceceran. Namun sungguh dia menjerit bukan karena itu. Bukan, semua itu semata-mata hanya alasan.

“Nona, Astaga!!” sang suster yang melihat itu semua memekik. Namun siapa peduli? In Ri sudah menutup telinganya.

Dia masih berusaha bangkit namun terhalang oleh selang infus yang masih menancap di nadinya. Dengan kasar In Ri menarik jarum itu dan membuangnya.

“Nona.. Nona tidak boleh melakukannya” kata suster yang masih berusaha menenangkan In Ri namun ketika sister itu berhasil menyentuh sedikit kulitnya, In Ri mulai memekik lagi.

“Pergi! Pergi!! Jangan sentuh aku!” katanya melempar apapun yagn ada didekatnya, tak terkecuali pecahan kaca yang membuat suster itu panik lalu pergi mencari pertolongan.

In Ri terdiam dalam tangisnya. Menangis sekeras-kerasya. Selama mata itu masih bisa digunakan untuk menangis. Ya, satu-satunya hal yang bisa dilakukan kedua mata coklat muda itu sekarang.
-----------------------------------------------------------------------------------------


In Ri terus menangis bahkan sampai tidka mengeluarkan air mata. Membuat rasa sakit yang menganga terasa timbul tenggelam.

Ia menutup dirinya dari dunia luar bahkan sampai langkah-langkah ringan yang menghampirinya tak bisa membuatnya yang duduk membelakangi pintu merasakan kehadiran sesosok itu.

In Ri terus menangis bahkan ketika langkah-langkah itu semakin mendekat.

Tuukk.. (ceritanya ini suara langkah ya chingu ^^)
Tukk,,
Tuk..

“Uljimayo..”
Perkataan itu diucapkan dengan cara yang sangat menyejukkan oleh orang yang tangannya sedang memeluk In Ri dari belakang.

“Uljimayo..” katanya lagi.

In Ri terdiam sesaat, menyimpan dalam-dalam aroma maskulin dan aromaterapi dari tubuh orang itu. Namun entah mengapa luka yang sesaat tadi tenggelam kini timbul lagi.

“Pergi!!” hentak In Ri seketika

“...”

“Pergi kubilang!!”

“...” tapi orang itu tak bergeming

“PERGI!!!!” kata In Ri mulai berusaha melepaskan diri.

Namun pelukannya malah semakin erat membawa tubuh In Ri terhanyut akan ketenangan hati sang empunya pelukan. Namun lukanya yang terlanjur timbul karena terjamah pelukan yang sama dengan pelukan mantan-namjachingu-nya masih mencoba merangsek keluar.

“...” Orang yang masih bergeming itu malah membenamkan kepalanya dalam pundak In Ri. Seakan berusaha merenggut semua penderitaan In Ri, menelannya untuk dirinya sendiri dan takkan membiarkan gadis ini merasakannya barang setetespun.

“Pergi..” kata In Ri mulai lirih

“Uljima..” katanya berbisik pada In Ri

“Gomapta, Jinki-ssi.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Dua minggu kemudian...



To Be Continued.. ^^
Sengaja mau buat reader marah, wkwkwkk!!! Doa’kan semoga menemukan inspirasi yang tepat untuk FF yang satu ini.

Terimakasih bagi yang sudah baca..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Other Information

Ikuti Terus Blog ini ya...
Oiya,, bagi para pengikut,, Add FB aku juga ya.. di Indriyanti Agutina Putri dan my twitter @2096park